Minggu, 20 Oktober 2013

Hubungan Qawa'id Fiqhiyyah dengan Qawa'id Ushuliyyah, Fiqih dan Ushul Fiqh



HUBUNGAN QAWA’ID FIQHIYAH DENGAN QAWA’ID USHULIYAH, FIQH DAN USHUL FIQH

Qawaid Fiqhiyah, Qawaid Ushuliyah, fiqih dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya. Keempat ilmu tersebut saling terkait dengan perkembangan fiqih, karena pada dasarnya yang menjadi pokok pembicaraan adalah fiqih.
Qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah adalah ilmu-ilmu yang berbicara tentang fiqih. Dengan demikian kajian qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid usuliyah tersebut adalah fiqih.


A.    Hubungan Qawa’id fiqhiyah dengan qawa’id ushuliyyah
Kaidah ushuliyah memuat pedoman penggalian hukum dari sumber aslinya baik Al-Quran maupun sunnah dengan menggunakan pendekatan secara kebahasaan. Sedangkan kaidah fiqhiyah merupakan petunjuk operasional dalam mengistinbathkan hukum Islam, dengan melihat kepada hikmah dan rahasia-rahasia tasyri’. Namun kedua kaidah tersebut merupakan patokan dalam mengistinbathkan suatu hukum, satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan, sebab keduanya saling membutuhkan, dalam sasarannya menetapkan hukum Islam terhadap mukallaf. Sebagai contoh Surah Al-maidah ayat 3 :
ôMtBÌhãm ãNä3øn=tæ èptGøŠyJø9$# ãP¤$!$#ur ãNøtm:ur ͍ƒÌYσø:$# ........
Artinya :  diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,,,,, (Al-maidah :3)

            Kata hurrimat pada ayat diatas menunjukkan tentang keharaman memakan bangkai, darah, daging babi . dalam qaidah ushuliyyah disebutkan bahwa :
الاصل فى النهي للتحر يم
Artinya : “Asal pada larangan adalah haram.”
           
Mengenai ini kaidah fiqhiyyah menjelaskan : 
الحر يم له حكم ما هو حر يم له
Artinya : “yang mengelilingi larangan hukumnya sama dengan yang dikelilinginya”.

Kaitan qaidah fiqhiyyah dengan kaidah ushuliyyah diatas adalah sebagaimana diharamkan memakan bangkai, darah , daging babi , maka diharamkan pula untuk memperjualbelikannya atau memanfaatkannya. Apabila bangkai, darah, daging babi itu diperjualbelikan maka harga dari jual beli tersebut adalah haram hukumnya.
Begitu juga apabila gemuk bangkai dijadikan minyak lalu minyak itu dijual kepada orang lain, maka jual beli tersebut menjadi haram hukumnya. Hal ini didasarkan kepada qaidah fiqih diatas bahwa pada hakikatnya yang dikelilingi adalah keharaman memakan bangkai, darah, daging babi , sedangkan yang mengelilinginya adalah menjual dan memanfaatkannya, hal ini diharamkan karena hukum asalnya adalah haram.
      

B.     Hubungan qawa’id Al-fiqhiyyah dengan Ushul fiqh dan fiqih
Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id al- fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyah  merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.
Persoalan baru semakin banyak tumbuh dalam masyarakat seiring dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat itu sendiri. Maka diperlukan kunci berfikir guna memecahkan persoalan masyarakat sehingga tidak menjadi berlarut-larut tanpa kepastian hukum. Dengan demikian qawa’id al fiqhiyah sangat berhubungan dengan tugas pengabdian ulama ahli fiqih dalam rangka mengefektifkan dan mendinamiskan ilmu fikih ke arah pemecahan problema hukum masyarakat.[1]

Menurut al-Baidhawy (w.685) dari kalangan ulama syafiiyyah, ushul fiqih adalah :
معرفة دلا ئل الفقه اجمالا وكيفية الستفادة منها وحال المستفيد
“pengetahuan secara global tentang dalil-dalil fiqih, metode penggunaannya, dan keadaan (syarat-syarat) orang yang menggunakannya.”
Definisi ini menekankan tiga objek kajian ushul fiqih, yaitu :
  1. Dalil (sumلاer hukum)
  2. Metode penggunaan dalil, sumber hukum, atau metode penggalian hukum dari sumbernya.
  3. Syarat-syarat orang yang berkompeten dalam menggali (mengistinbath) hukum dan sumbernya.
Dengan demikian, ushul fiqih adalah sebuah ilmu yang mengkaji dalil atau sumber hukum dan metode penggalian (istinbath) hukum dari dalil atau sumbernya. Metode penggalian hukum dari sumbernya tersebut harus ditempuh oleh orang yang berkompeten.
Kemudian tujuan dari pada ushul fiqh itu sendiri adalah untuk mengetahui jalan dalam mendaptkan hukum syara’ dan cara-cara untuk menginstimbatkan suatu hukum dari dalil-dalinya. Dengan menggunakan ushul fiqh itu, seseorang dapat terhindar dari jurang taklid.[2]
Ushul fiqh itu juga sebagai pemberi pegangan pokok atau sebagai pengantar dan sebagai cabang ilmu fiqih itu, berisikan antara lain teori-teori hukum baik berupa asas-asas hukum, dalil-dalil atau kaidah-kaidah ushul fiqh yang harus digunakan  untuk dapat memahami syari’at itu dengan baik.
Dapat dikatakan bahwa ushul fiqh sebagai pengantar dari fiqih, memberikan alat atau sarana kepada fiqh dalam merumuskan, menemukan penilaian-penilaian syari’at dan peraturan-peraturannya dengan tepat.[3]
Hukum yang digali dari dalil/sumber hukum itulah yang kemudian dikenal dengan nama fiqih. Jadi fiqih adalah produk operasional ushul fiqih. Sebuah hukum fiqih tidak dapat dikeluarkan dari dalil/sumbernya (nash al-Qur’an dab sunah) tanpa melalui ushul fiqih. Ini sejalan dengan pengertian harfiah ushul fiqih, yaitu dasar-dasar (landasan) fiqih.
Misalnya hukum wajib sholat dan zakat yang digali (istyinbath) dari ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah (2) ayat 43 yang berbunyi
واقيموا الصلاة وءاتواالزكوة  .......

“dan dirikanlah sholat dan tunaikanlah zakat ...”

Firman Allah diatas berbentuk perintah yang menurut ilmu ushul fiqih, perintah pada asalnya menunjukan wajib selama tidak ada dalil yang merubah ketentuan tersebut ( الاصل فى الامر للوجوب).
Fiqih adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya. Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.
Fikih membahas tentang bagaimana cara tentang beribadah, tentang prinsip Rukun Islam dan hubungan antara manusia sesuai dengan dalil-dalil yang terdapat dalam Al-Qur'an dan Sunnah.[4]  Oleh karena itu hubungan diantara Qawa’id al- fiqhiyah dengan fikih sangat erat sekali karena qawaid fiqhiyah dapat dijadikan sebagai kerangka acuan dalam mengetahui hukum perbuatan seorang mukalaf. Ini karena dalam menjalanklan hukum fiqih kadang-kadang mengalami kendala-kendala. Misalnya kewajiban shalat lima waktu yang harus dikerjakan tepat pada waktunya. Kemudian seorang mukalaf dalam menjalankan kewajibannya mendapat halangan, misalnya ia diancam bunuh jika mengerjakan shalat tepat pada waktunya. Dalam kasusu seperti ini, mualaf tersebut boleh menunda sholat dari waktunya karena jiwanya terancam. Hukum  boleh ini dapat ditetapkan lewat pendekatan qawaid fiqhiyah, yaitu dengan menggunakan qaidah :”الضرار يزال“ bahaya wajid dihilangkan. Ini adalah salah satu perbedaan antara qawaid ushuliyah dengan qawaid fiqhiyah. Qawaid ushuliyah menkaji dalil hukum (nash al-Qur’an dan sunah) dan hukum syarak, sedangkan qawaid fiqhiyah mengkaji perbuatan mukalaf dan hukum syarak.[5]
Demikianlah hubungan antara fiqih, qawaid fiqhiyah, ushul fiqih dan qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) adalah hukum yang diistinbath dari nash al-Qur’an dan sunnah melalui pendekatan ushul fiqih yang diantaranya menggunakan qawaid ushuliyah. Hukum syarak (fiqih) yang telah diistinbath tersebut diikat oleh qawaid fiqhiyah, dengan maksud supaya lebih mudah difahami dan identfikasi.














KESIMPULAN
Bahwasannya Qawaid Fiqhiyah, Qawaid Ushuliyah, fiqih dan ushul fiqh tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lainnya karena ke empat hukum ini selalu berkaitan antara satu dengan yang lainnya . qawa’id al-fiqhiyyah terkadang selalu menopang qawaid ushuliyyah , begitu juga fiqh dan ushul fiqh. Ilmu fiqih mempunyai hubungan erat dengan qawa’id al- fiqhiyah karena kaedah al-fiqhiyah  merupakan kunci berpikir dalam pengembangan dan seleksi hukum fiqih. Dengan bantuan qawa’id al fiqhiyah semakin tampak jelas semua permasalahan hukum baru yang tumbuh ditengah-tengah masyarakat dapat ditampung oleh syari’at Islam dan dengan mudah serta cepat dapat dipecahkan permasalahannya.




















DAFTAR PUSTAKA

Imam musbikin,Qawa’id Al-fiqhiyah (Jakarta: PT Rajagrafindo persada)
Basiq Djalali,Ilmu ushul fiqh (Jakarta: kencana, 2010)
Saidus syahar, Asas-asas hukum Islam (Bandung:alumni , 1996)
www, wikipedia.com
www. Abdul halim.com qawaid fqhiyyah



[1] Imam musbikin,Qawa’id Al-fiqhiyah (Jakarta: PT Rajagrafindo persada), hal 13
[2] Basiq Djalali,Ilmu ushul fiqh (Jakarta: kencana, 2010) hal 17
[3] Saidus syahar, Asas-asas hukum Islam (Bandung:alumni , 1996) hal : 35
[4] www, wikipedia.com
[5] www. Abdul halim.com qawaid fqhiyyah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar